Jakarta UKN
Kasus penculikan dan pembunuhan
Muhammad Ilham Pradipta bukan sekadar tindak kriminal biasa. Dalam perspektif
hukum pidana Indonesia, para pelaku bisa dijerat dengan sejumlah pasal berat
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
1. Geger di Musi Rawas!
Oknum Pejabat Dinsos Diduga Intimidasi Wartawan, Ketua IWO.I Angkat Suara: “Ini
Serangan terhadap Kebebasan Pers!”
2. Jejak Panjang
Penculikan dan Pembunuhan Sadis Kepala KCP BRI Cempaka Putih
3. Kejagung Digugat
karena Diduga ‘Main Mata’, Eksekusi Silfester Matutina Mangkrak Bertahun-tahun!
4. Senayan di Demo
Besar-besaran Minta DPR Dibubarkan, Adakah Dalang di Baliknya?
5. Terungkan banyak pemda yang kurang peduli terhadap skor SPI KPK
6. Heboh! Rakyat Siap
Duduki Senayan, Gelombang Massa Teriakkan “Bubarkan DPR RI pada 25 Agustus 2025!”
Diantaranya adalah :
1. Pasal 338 KUHP
Barang siapa dengan sengaja
merampas nyawa orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.
Fakta bahwa Ilham ditemukan tewas dengan kondisi terikat lakban memperkuat
dugaan adanya perbuatan yang dilakukan dengan sengaja.
2. Pasal 340 KUHP (Pembunuhan
Berencana)
Jika terbukti bahwa penculikan
ini memang dirancang sejak awal, lengkap dengan pengintaian dan eksekusi yang
sistematis, maka para pelaku dapat dijerat pasal pembunuhan berencana. Hukuman
maksimalnya adalah pidana mati, penjara seumur hidup, atau 20 tahun penjara.
3. Pasal 328 KUHP (Penculikan)
Penculikan yang disertai dengan
perampasan kemerdekaan seseorang dapat diganjar pidana penjara paling lama 12
tahun.
4. Pasal 55 KUHP (Turut serta
melakukan)
Pasal ini dapat menjerat mereka
yang tidak turun langsung melakukan pembunuhan, tetapi ikut memerintahkan atau
membantu jalannya kejahatan. Inilah pasal yang kemungkinan besar akan dikenakan
pada para aktor intelektual seperti C, DH, YJ, dan AA.
Celah
Hukum dan Praktik Debt Collector
Keterlibatan seorang debt
collector bernama RW dalam kasus ini menyoroti praktik penagihan utang yang
kerap disalahgunakan. Meskipun pekerjaan debt collector tidak dilarang, namun
praktik di lapangan sering kali berbenturan dengan hukum.
Menurut Surat Edaran Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) Nomor 18/SEOJK.07/2018, perusahaan jasa keuangan dilarang
menggunakan cara-cara kekerasan, ancaman, atau mempermalukan debitur saat
melakukan penagihan. Pelanggaran terhadap aturan ini bisa dikategorikan sebagai
tindak pidana.
Dalam kasus Ilham, meski motif
belum sepenuhnya jelas, kehadiran seorang debt collector di antara para pelaku
memperkuat dugaan bahwa persoalan utang atau kredit macet bisa menjadi pemicu
awal. Jika terbukti, kasus ini bisa membuka perdebatan lebih luas soal
bagaimana regulasi terhadap jasa penagihan utang perlu diperketat.
Dari konstruksi hukum yang ada,
polisi berpeluang menjerat para pelaku dengan pasal berlapis. Para eksekutor
bisa dikenakan Pasal 340 KUHP, sementara aktor intelektual akan dijerat Pasal
55 KUHP.
“Jika pembuktian kuat, hukuman
maksimal bisa berupa pidana mati atau seumur hidup,” kata seorang ahli hukum
pidana dari Universitas Indonesia.
Lebih lanjut, penggunaan
kekerasan dalam praktik penagihan utang juga bisa menjerat pelaku dengan pasal
tambahan di luar KUHP, termasuk UU Perlindungan Konsumen.
Kasus ini bukan hanya tentang
kriminalitas semata, tetapi juga menyangkut citra dunia perbankan, kredibilitas
aparat penegak hukum, serta regulasi praktik penagihan utang di Indonesia.
1. Bagi perbankan, kasus ini
menjadi pengingat bahwa keamanan pejabat di posisi strategis perlu
ditingkatkan.
2. Bagi penegak hukum, kasus ini
menunjukkan bahwa sindikat kejahatan terorganisir masih bisa bergerak leluasa
di ibu kota.
3. Bagi regulator keuangan, kasus
ini mempertegas bahwa praktik debt collector di lapangan membutuhkan pengawasan
yang lebih ketat agar tidak merugikan masyarakat atau bahkan menimbulkan korban
jiwa.
Dari data yang
dihimpun di media sosial, kasus ini semakin memperlihatkan betapa seriusnya
ancaman yang dihadapi korban sebelum akhirnya meregang nyawa. Hukum Indonesia
sudah menyediakan perangkat tegas untuk menghukum para pelaku. Namun,
pertanyaan yang lebih besar adalah, apakah tragedi ini akan menjadi titik balik
dalam penindakan praktik kejahatan terorganisir dan penyalahgunaan profesi debt
collector di Indonesia? Mari kita tunggu keterangan penyidik selanjutnya. (TIM)
0 komentar:
Post a Comment